Malam ini saya makan malam dengan menu pecel lele. Tidak ada yang istimewa dari pecel lele nya sama seperti pecel lele ditempat lain. Ketika saya sedang mengambil gambar menu murah meriah ini, saya mulai mengingat-ingat kapan pertama kali saya makan pecel lele. Sedikit bernostalgia, mengenang masa lalu.
Saya lahir di Jakarta namun tumbuh besar di sebuah desa di suatu kabupaten di Jawa Tengah, 40 km di timur kota Semarang. Keluarga saya bukanlah keluarga berada. Masyarakat kami adalah masyarakat sederhana yang tiap hari hanya makan sayur dan tempe. Kadang kami makan ikan yang kami cari di sawah atau di sungai. Kami sangat jarang makan daging. Daging ayam hanya bisa saya rasakan saat salah seorang tetangga kami mengadakan kenduri. Sementara daging kambing biasanya kami nikmati saat idul adha.
Saat menempuh pendidikan tingkat atas, saya mengambil pendidikan di sebuah SMK di jalan Pandanaran Semarang. Setiap hari, saya harus menempuh satu jam perjalanan menggunakan bis umum untuk tetap belajar di sekolah. Bangun jam 5 pagi, berangkat sekolah dengan membawa pisang, singkong atau apapun hasil kebun kami unuk dijual dipasar, baru setelah itu saya berangkat sekolah. Itu saya lakukan selama 3 tahun saya menempuh pendidikan di Semarang.
Memasuki tahun Kedua, sekolah saya bekerja sama dengan sebuah perusahaan di Kawasan Industri Candi melakukan Praktek Kerja Industri (Prakerin) atau sekarang disebut magang selama 2 bulan. Jadi selama 2 bulan saya tidak datang ke sekolah, saya harus datang ke perusahaan tersebut 'belajar' bagaimana sistem kerja disana.
Saat kami datang pertama kali datang kami disambut ramah oleh personalia pabrik. Serah terima peserta didik antara pihak sekolah dan pihak perusahaan pun dilakukan. Seusai guru pembimbing kami pergi, pihak personalia segera melakukan briefing pada kami. Kami yang berjumlah 40 orang langsung dibagi menjadi beberapa kelompok. Ternyata kami dibagi menjadi 3 shift seperti para pekerja di pabrik tersebut. Kemudian pihak personalia menerangkan bahwa selama kami magang kami akan di bayar 12 ribu per harinya. Itu berarti separo dari gaji karyawan harian disana. Sebagian dari kami lalu disuruh pulang karena mendapat shift kerja siang dan malam.
Pabrik tempat kami 'belajar' dalah sebuah pabrik sparepart otomotif. Memproduksi bearing sepeda motor dan beberapa onderdil lainnya. Beberapa mesin sudah otomatis, beberapa lagi masih manual. Kondisi perusahaan sangat kumuh, lantainya tidak rata, dan para pekerjanya menggunakan safety seadanya. Sistem sanitasi perusahaan tidak berfungsi, dan sistem ventilasinya tidak berfungsi. Otomatis, suhu ruangan menjadi sangat panas an pengap. Kalau ada ruangan yang bersih, itu hanyalah kantor staf dan manajer yang terletak di lantai dua.
Saya pada waktu itu kebetulan mendapat shift pagi. Pihak personalia kemudian menempatkan saya pada departemen produksi. Hari itu juga saya langsung dikrnalkan pada leader produksi ditempat saya. Oleh sang leader saya kemudian diajari bagaimana cara mengoperasikan mesin. Saya disuruh mencoba, setelah saya cukup mahir menggunakannya saya ditinggalkan. Dan untuk seterusnya saya mengoperasikan mesin tersebut selama 3 minggu. Mesin yang saya operasikan adalah mesin semi otomatis. Tingkat keamananya sangat rendah dan tidak sesuai dengan K3. Diminggu ketiga sayabmenyerah. Mengoperasikan mesin tersebut dengan berdiri selama 8 jam sehari sangat melelahkan. Jangan anak skolahan macam saya, pekerjanya pun banyak yang tidak sanggup mengoperasikanya. Terlebih jika saya masuk shift malam, resiko kecelakaan yang saya alami menjadi sangat tinggi karena faktor kelelahan.
Selanjutnya saya ditempatkan di bagian Packing. Saya pikir pekerjaan ini lebih ringan. Ternyata tidak. Disini kami bekerja dengan bahan kimia. Tanpa dilengkapi safety sama sekali kami harus melakukan packing ribuan benda kerja yang dicelupkan kedalam cairan anti karat. Belum lagi jika kami harus mengangkat ratusan box benda kerja kami kedalam kontainer atau truk diesel secara manual. Kadang ketika dirumah, saya bisa tidur selama 12 jam saking capeknya. Di pabrik ini kami benar-benar 'belajar' bagaimana kerja industri itu atau lebih tepatnya bagaimana kehidupan buruh itu.
Dipabrik itu, pengiriman barang dilakukan 2 kali seminggu. Tujuannya ke arah Jabodetabek. Entah pabrik mana, yang pasti mendengar kata Jakarta begitu menarik perhatian saya. Maklum saja itu adalah kota kelahiran saya. Sudah 10 tahun saya tidak pernah kesana.
Suatu saat saya menadapat kesempatan menjadi asisten sopir (kernet) dalam ekspedisi ke Jababeka. Kesempatan itu tidak saya sia-sia kan. Tapi apa lacur, karena ditunjuk secara mendadak akhirnya saya tak membawa perlengkapan apapun. Hanya baju kerja dan baju ganti. Dan akhirnya dengan penuh kenekatan saya berangkat ke Jababeka bersama sopir perusahaan.
Pak sopir ini berwajah garang, kulitnya hitam khas orang jawa. Bertubuh tinggi namun kurus. Tak banyak bicara dan kaliatan terlalu serius. Kami berangkat sore hari. Selama perjalanan saya menggil tak karuan. Udara malam begitu dingin sementara jendela mobil truk ini selalu terbuka. Pak sopir ini tak henti-hentinya merokok batang djisamsu dari sejak berangkat. Tak hanya disitu, saat berhenti di pom bensin untuk istirahat, pak sopir menyuruh saya tidur di luar sementara Dia enak tidur didalam mobil dengan nyamannya. Akhirnya saya harus tidur kedinginan malam itu, buah kenekatan saya ikut ke Jakarta.
Pagi hari seusai sarapan kami berangkat ke pabrik tujuan. Rupanya derita saya tak berhenti disini. Barang muatab kami harus diturunkan secara manual. Dan sayalah yang harus menurunkan barang-barang tersebut sendiri. Satu box beratnya sekitar 50 kg. Dan ada puluhan box di bak truk ini. Segera rasa haus dan capek menyergap saya. Dengan segala upaya yang tersisa akhirnya saya bisa menurunkan barang-barang tersebut. Bagaimana dengan pak Sopir saya yang 'baik hati' , dia tidur dengan lelapnya di ruang tunggu sopir.
Akhirnya setelah selesai melakukan pengiriman ke semua tujuan, truk ini kembali ke arah Semarang. Sore hari, truk berhenti di sebuah warung pecel lele. Inilah untuk pertama kali saya merasakan makanan yang disebut khas kota lamongan tersebut. Saya makan dengan lahap tak menghiraukan orang-orang sekitar. Pak Sopir tertawa melihat saya, dan untuk kali pertamanya saya melihat wajah sangar itu mengembangkan senyuman untuk pemuda kucel yang tak mandi dua hari ini.
Setelah makan malam ini, pak sopir menjadi lebih terbuka. Sepanjang jalan pulang kami berbincang tentang keluarga dan hal lain yang tak penting. Dia meminta maaf paa saya, karena telah 'mengerjai' saya selama perjalanan kemarin. Tapi ada alasan dibalik itu. Sebuah alasan yang mungkin akan saya ceritakan lain kesempatan.
Itulah kisah say tentang Pecel Lele pertama saya dan per Magang an pertama saya juga. Saya berharap apa yang saya alami ini tidak lagi dialami oleh anak-anak saya nanti. Tapi hal itu bisa saja tetap terjadi jika pemerintah mensyahkan tentang PerMagangAn sebagai salah satu bagian dari perjanjian kerja yang sah di negeri ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar